Sebelum kebudayaan Hindu memasuki wilayah nusantara, khususnya pulau
Jawa, kesenian wayang sudah ada (dalam bentuk yang asli).
Kemudian kesenian wayang mulai berkembang saat masa Hindu Jawa. Masa
Hindu Jawa adalah masa transisi masyarakat Jawa ketika itu masih belum
melepaskan sepenuhnya tradisi animisme dan dinamisme.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan
bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari
Kerajaan Mamenang/Kediri.
Sekitar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari
roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang
tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di
Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk
penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai
penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk
pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari
Dewa Wisnu.
Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan
wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat,
maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga
dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat
menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan
dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem
ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan
pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.
Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai
penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan
gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya
yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa
pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang
dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap
mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang
dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton
diselenggarakan pagelaran wayang.
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas
disempurnakan dengan ditambahi bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu.
Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus
dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak
terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang
tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan
diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di
luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana
pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro.
Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya
berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus
untuk upacara ruwatan. Kisah-kisah yang dipagelarkan umumnya merupakan lakon
dalam Mahabharata dan Ramayana atau kisah seputar kerajaan Jenggala.
Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali
dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging
Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk
menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut
disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja,
Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada
masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin semarak.
Cerita terkenal yang acapkali mengilhami pembuatan wayang Beber selain
kisah Purwa yang didominasi oleh pemujaan terhadap Wisnu, adalah kisah nyata
tentang cinta antara Raden Panji Asmarabangun, putra mahkota kerajaan Jenggala
dan Galuh Candra Kirana, seorang putri dari Kediri. Candra Kirana diyakini
merupakan titisan Dewi Ratih (dewi asmara) dan Asmarabangun adalah inkarnasi
dari Dewa Kamajaya (dewa asmara). Dalam kisah ini terdiri dari deretan kisah
perjalanan pencarian dan pertemuan pasangan tersebut dalam berbagai penyamaran
saat berkelana.Sebut saja kisah Panji Semirang hingga Ande-ande Lumut. Kisah
ini menjadi bait puisi sekaligus tembang berjudul “Smaradahana” (Api Cinta).
Akhir cerita pasangan tersebut akhirnya menikah dan lahirlah Raja Putra,
kemudian Panji Asmorobangun menjadi Raja Jenggala bergelar Sri Kameswara atau
Prabu Suryowiseso atau Hino Kertapati (Inu Kertapati).
Pagelaran wayang Beber hingga kini dilakukan hanya pada saat
ruwatan, acara ritual menghalau kekuatan buruk dan khusus mendatangkan hal-hal
baik semata. Keberadaan 1-2 wayang Beber kuno masih ditemukan di beberapa
daerah, antara lain di Wonosari, Yogyakarta dan Museum Mangkunegaran di Solo
(Surakarta), Jawa Tengah serta di Donorojo, kawasan Pacitan, Jawa Timur.
Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala; Geni murub
siniram jalma (1433/1511 M), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak.
Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni
kerawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan
bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu.
Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut
mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang
itu sendiri.
Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan
kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru
dengan menghilangkan wujud gambaran manusia.
Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari
kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari
Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah
digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan
manusia, sehingga sampai di kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna
dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang,
sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Pada masa itu terjadi perubahan secara besar-besaran di seputar
pewayangan. Di samping bentuk wayang baru, diubah pula tehnik pakelirannya,
yaitu dengan mempergunakan sarana kelir/layar, mempergunakan pohon pisang
sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana
penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan
diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun
demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan
Mahabarata, namun di sana-sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun
masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun
wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih
tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.
Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan
Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari
wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk
liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang
mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar.
Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna
keemasan.
Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan
menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog
bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh
laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu
Jenggala, Mamenang/Kediri, Ngurawan dan Singasari.
Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata “Gedog” berarti
kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang
menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari “Kudawanengpati”atau yang lebih
terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog
diiringi dengan gamelan pelog.
Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya
dipagelarkan di dalam istana.
Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka
Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu
menciptakan wayang Damarwulan. Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera
Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa
pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan
yang bernama Minak Jinggo.
Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus
menciptakan wayang Golek dari kayu. Cerita diambil dari kisah seputar Islam.
Dengan menggunakan kisah Menak, –sebagai sebutan bagi Amir Hamzah, salah satu
paman Nabi Muhammad SAW. figur-figur yang terkenal dalam wayang golek adalah :
Umar Maya, Umar Madi, Lamdahur, dan sebagainya. Pengisahan ini dilakukan khusus
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebuah buku berjudul ‘Serat Menak’ ditulis oleh
Kyai Yosodipuro I dari Kraton Surakarta. Selain itu, lakon pakem lainnya tetap diambil
dari wayang Purwa (umumnya di Jawa Barat) dan diiringi dengan gamelan slendro,
tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab.
Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan
perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang
dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang
akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat
mirip dengan wayang Purwa.
Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau
Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang
ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris. Di samping itu baik
wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi
tangkai.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang
semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa
dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa
tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip
raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.
Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa
Satataning Jalma (1552 J/1670 M). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil
merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan
Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut
Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal:
(1553 J/1671 M).
Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang
Klithik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam
pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran
dilakukan pada siang hari. Topik cerita yang disuguhkan diambil dari
kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, yakni Jenggala, Kediri dan Majapahit dengan
pusat cerita antara lain kisah tentang Raden Panji dan Cindelaras, anak desa
penyabung ayam. Damarwulan adalah tokoh heroik dari Majapahit yang berhasil
membunuh musuh kerajaan bernama Menakjinggo dari kerajaan Blambangan (kini
Banyuwangi), hingga kemudian ia pun diperbolehkan menikahi Ratu Kencana Wungu,
meski ia telah beristri Anjasmara, anak sang patih kerajaan (Loh Gender),
hingga akhirnya diangkat menjadi raja.
Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk
lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia
dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian
yang ada pada wayang kulit.
Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat
Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng
adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang
Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan
Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi
Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau
Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau
untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang
Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera
Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah
mirip bentuk wayang gedog.
Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945-1949, usaha untuk
mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan
dengan berbagai cara. Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus
untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah
wayang Suluh.
Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti
pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang
gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan
pakaian orang sehari-hari.Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada
yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara
orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang
di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai
dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti
perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat
selalu berubah, terutama para pejabatnya.
Kini, beragam wayang lahir, tumbuh dan terdapat di berbagai daerah
di Indonesia antara lain Jawa, Sunda, Bali, Lombok, dan Sumatera. Wayang Kulit
terdapat pula di Kedu, Tejokusuman, Ngaben, Surakarta, Banyumas dan Cirebon.
Selain wayang Gedog, ada wayang Sadad. Di samping wayang Madya, ada wayang
Krucil/ Karucil, juga ada wayang Sasak, wayang Kaper, wayang Wahyu, wayang
Intan, wayang Suket (Rumput), wayang Revolusi. Sebagian ragam wayang tersebut
masih tersimpan di Museum Mpu Tantular di Surabaya dan Museum Wayang di
Jakarta. Koleksi lainnya di museum ini adalah wayang Golek berukuran besar dan
mini, serta berbagai jenis topeng. Di samping wayang dari nusantara, di museum
ini disertakan pula koleksi dari manca negara meliputi boneka (puppet) dari
Kelantan (Malaysia), Suriname, Perancis, Kamboja, India, Pakistan, Vietnam,
Inggris, Amerika dan Thailand. Semoga akan menambah ilmu dan wawasan
seni budaya terutama budaya wayang Indonesia
Sumber: media wayang Indonesia, rangkuman karya tulis berbagai seniman
budaya wayang Indonesia